Selamat Datang Di Blog Pribadi Iskandar Daulima, S.H

My New Life

My New Life

Kamis, 19 April 2012

Mekanisme Pembahasan Undang-undang di Legislatif Baru

Gedung MPR/DPR yang terletak di Jalan Gatot Subroto Jakarta telah mulai didirikan sejak tahun 1965. Tahun demi tahun berlalu, gedung itu menyimpan kenangan tersendiri tentang para penghuninya. Tidak lama lagi, para penghuni baru kembali akan mewarnai pola tingkah para anggota legislatif kita. Ada yang suka mengantuk, ada yang suka baca koran, ada yang suka membaca pesan singkat di telepon selulernya, dan ada pula yang tekun mengikuti berbagai rapat. Tapi yang pasti akan ada suasana yang benar-benar baru dalam proses pembahasan undang-undang. Di samping beberapa perubahan sistem yang diusulkan, keberadaan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan menyegarkan suasana yang selama ini melulu diwarnai oleh kepentingan partai politik. Seperti apakah kira-kira suasana pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) nantinya?  

  • Sedang Dibahas dalam Rancangan Tata Tertib
Proses pembahasan sebuah RUU di DPR selama ini diatur dalam Tata Tertib (Tatib) DPR. Walaupun saat ini sudah ada undang-undang yang menaunginya yaitu Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP), tetap saja undang-undang ini menyerahkan sepenuhnya rincian proses tersebut kepada Tatib. Sehubungan dengan itu, saat ini DPR tengah menyiapkan Tatib yang akan digunakan oleh para anggota baru legislatif baru nanti. Dengan adanya DPD maka perubahan yang terjadi dalam proses menjadi cukup signifikan. Pembahasan Rancangan Tatib tersebut sejak bulan Juni 2004 dilakukan oleh Badan Legislasi (Baleg). Beberapa waktu yang lalu karena kesibukan DPR dan adanya isyarat dari banyak pihak untuk terlebih dahulu menunggu DPD, pembahasan Rancangan Tata tatib ini ditunda. Akan tetapi dalam pidato pembukaan masa sidang tanggal 16 Agustus 2004 lalu, Ketua DPR Akbar Tanjung menyatakan bahwa pembahasan Rancangan Tata tatib menjadi prioritas pekerjaan yang harus diselesaikan oleh DPR periode ini. Pada dasarnya ada beberapa perubahan sistemik yang ada dalam proses pembahasan undang-undang selain keberadaan DPD, yaitu adanya usulan untuk membuka Rapat Panitia Kerja (Panja), keharusan penyebarluasan RUU serta adanya "teguran" kepada Presiden jika setelah 15 (lima belas) hari RUU yang disahkan tidak juga ditandatangani.  

  • DPR, DPD dan Pemerintah. 
Proses pembahasan sebuah RUU seperti kita ketahui terdiri dari beberapa tahapan, yaitu perencanaan, perancangan, pembahasan dan pengesahan. Akan tetapi di DPR dikenal satu tahapan lagi antara proses perancangan dan pembahasan yaitu proses pengusulan. Pada dua tahapan yaitu perancangan dan pengusulan DPR, DPD dan pemerintah sama-sama memiliki hak untuk menjalankanya. Hanya saja untuk DPD kewenangan tersebut dibatasi hanya pada RUU yang berkaitan dengan soal pemerintahan darah (Pasal 22 D UUD). Tidak dijelaskan bagaimana proses perancangan dijalankan oleh DPR, DPD maupun pemerintah, karena memang tidak menjadi lingkup dari Tatib DPR. Walaupun sebenarnya karena Tatib ini adalah peraturan internal DPR, maka DPR perlu mengatur lebih lanjut tentang standard proses perancangan di DPR. Apakah perancangan sudah perlu melibatkan stakeholders, apakah perlu ada konsultasi publik, bagaimana standar naskah akademik, apa saja yang perlu ada dalam naskah akademik. Selama ini proses perancangan di DPR dilakukan oleh beberapa alat kelengkapan secara terpisah, yaitu komisi (atau gabungan komisi), fraksi dan Baleg. Ketiganya mengerjakan proses perancangan dengan konvensi yang berlaku di masing-masing alat kelengkapan tersebut. Sehingga secara kualitas, tidak ada standar tertentu. Ada yang sangat baik, tapi banyak juga yang sangat buruk. Untuk pengusulan dari DPR, jumlah anggota yang boleh mengusulkan masih sama dengan Tatib yang lama, yaitu 10 (sepuluh) orang anggota. Semua RUU yang diajukan untuk dibahas, baik itu dari DPR, DPD maupun pemerintah harus disertai dengan penjelasan, keterangan dan/atau naskah akademis (Pasal 117 ayat (5) Rancangan Tatib). Sedangkan untuk DPD, pengusulan RUU dilakukan melalui DPR. Pimpinan DPD harus terlebih dulu mengirimkan RUU kepada Pimpinan DPR. Setelah diumumkan dan membagikan RUU dari DPD tersebut kepada anggota DPR pada rapat paripurna berikutnya, kemudian DPR akan membahas RUU tersebut dalam rapat konsultasi.Hasil rapat konsultasi tersebut kemudian dilaporkan ke rapat paripurna. Baru setelah itu Pimpinan DPR menyampaikan RUU kepada presiden dengan permintaan agar presiden menunjuk menteri untuk mewakili (Pasal 130 A Rancangan Tatib). Rancangan Tatib ini juga memberikan kewajiban kepada instansi pemrakarsa baik itu DPR, DPD, ataupun pemerintah, untuk menyebarluaskan RUU beserta naskah akademiknya. Akan tetapi, tidak dijelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan "menyebarluaskan." Jika kita melihat pada Tatib yang berlaku sekarang, kewajiban untuk menyebarluaskan ada di tangan Pimpinan DPR melalui media massa dan Kantor Berita Nasional (Pasal 124 ayat (2) Tatib). Berdasarkan pengamatan penulis, sepanjang berlakunya Tatib ini, tidak pernah satu kali pun pimpinan DPR menampilkan secara utuh suatu RUU yang sedang dibahas di DPR pada media massa. Kalaupun ada beberapa kali media memuat beberapa penggal dari sebuah RUU, itu merupakan inisiatif dari media tersebut. Bukan secara khusus dilakukan oleh Pimpinan DPR.

  • Tidak Jelas Poisisinya
Setelah suatu RUU disetujui untuk dibahas oleh Rapat Paripurna, maka Badan Musyawarah (Bamus) akan menunjuk Komis, Badan Legislasi, Panitia Khusus atau Gabungan Komisi yang akan membahasnya dalam Pembahasan Tingkat I. Pada tingkat ini, DPD tidak memiliki posisi yang jelas di dalam Rancangan Tatib DPR. Pada Pasal 121 ayat (2) Rancangan Tatib disebutkan bahwa DPD menyampaikan pandangan dan pendapatnya atas sebuah RUU yang dibahas. Kemudian baik pemerintah maupun pimpinan Komisi/ Badan Legislasi ataupun Panitia Khusus juga wajib memberikan jawaban atas pandangan DPD tersebut. Tidak dijelaskan lebih lanjut apakah DPD kemudian bisa terus hadir dalam sidang-sidang antara DPR dan Pemerintah bila RUU tersebut sudah memasuki tingkat Panja. Jika RUU yang dibahas merupakan RUU yang diusulkan DPD, apakah pada saat pembahasan Tingkat II, yaitu pengesahan pada Rapat Paripurna, DPD mempunyai hak untuk memberikan pendapat akhir mereka? Hal-hal tersebut masih belum jelas tergambar dalam Rancangan Tatib ini.  

  • Lima Belas Hari Presiden Harus Beri Penjelasan 
Satu pasal menarik yang diadopsi oleh Rancangan Tatib ini dari UU PPP adalah soal penandatanganan RUU yang sudah disetujui untuk menjadi undang-undang oleh presiden. Berdasarkan hasil kajian PSHK dalam Catatan Awal Tahun PSHK soal penandatanganan RUU ini menjadi sorotan tersendiri. Setidaknya sudah ada lima undang-undang yang tidak ditandatangani oleh Megawati, yaitu:
  1. Undang-undang No. 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat.
  2. Undang-undang No. 25 tahun 2002 tentang Kepulauan Riau.
  3. Undang-undang No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
  4. Undang-undang No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
  5. Undang-undang No. 21 tentang Pengesahan ILO Convention No. 81 concerning Labour Inspection in Industry and Commerce (Konvensi ILO No.81 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan). 
Selama ini, presiden tidak pernah memberikan penjelasan, mengapa suatu RUU tidak ditandatangani. Ketidaksetujuan Presiden atas pengesahan RUU yang ditampilkannya melalui tidak diatandatanganinya suatu RUU merupakan suatu sikap politik yang seharusnya diberitahukan kepada publik. Rancangan Tatib ini mengatur pasal yang mengatasi problem di atas. Pada Pasal 118 ayat (2) disebutkan bahwa apabila setelah 15 (lima belas) hari presiden tidak juga menandatangani RUU yang sudah disahkan, maka Ketua DPR akan mengirimkan surat kepada DPR untuk presiden untuk meminta penjelasan. Walaupun ketentuan tersebut tidak menyelesaikan problem konstitusional yang ada, tapi setidaknya hal ini menyelesaikan problem administratif. Sehingga tidak ada lagi RUU yang tidak ditandatangani karena terlupa dan masih tertumpuk di meja presiden.
  
  • Panja Tidak Lagi Tertutup 
Terobosan yang agak luar biasa dalam hal pembahasan RUU adalah masalah Rapat Panja. Sudah bukan rahasia umum kalau ketertutupan Rapat Panja menjadi hal yang paling banyak dikeluhkan oleh berbagai pihak. Padahal hampir semua hal penting dalam proses pembahasan RUU diputuskan di tingkat Panja. Pasal 91 ayat (1) Rancangan Tatib mengusulkan agar Rapat Panja menjadi salah satu dari berbagai rapat yang bersifat terbuka. Catatan yang diberikan oleh tim penyusun Rancangan Tatib ini adalah, pembahasan secara intensif banyak dilakukan di Panja sehingga agar masyarakat dapat mengetahui secara langsung pembahasan RUU maka Rapat Panja seharusnya bersifat terbuka. Rapat lain yang diusulkan berifat terbuka adalah Rapat Paripurna, Rapat Paripurna Luar Biasa, Rapat Badan Musyawarah (Bamus), Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP), dan lain-lain.  

  • Satu Hal Penting Yang Kurang: Partisipasi Publik 
Pengesahan UU PPP pada 24 Mei 2004 lalu masih menyisakan suatu pekerjaan besar tentang partisispasi. Pasal 53 UU PPP menyatakan bahwa pengaturan lebih lanjut soal partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang dan peraturan daerah diatur lebih lanjut dalam Tatib DPR dan DPRD. Hal ini tampaknya luput diperhatikan oleh tim perancang Rancangan Tatib ini, sehingga keseluruhan pasal tentang proses pembahasan undang-undang tidak memuat masalah partisipasi publik. Hanya ada satu pasal tentang kemungkinan adanya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada pembahasan tingkat I; pengaturan yang tidak berbeda dengan Tatib yang lama. Demikian sekilas gambaran tentang proses pembahasn peraturan perundang-undangan di parlemen baru nanti yang tergambar dalam Rancangan Tatib yang sedang dibahas di DPR. Ada perbaikan-perbaikan sistemik yang cukup baik , namun banyak pula yang masih perlu dibongkar ulang. Hal ini membutuhkan keseriusan dari anggota yang baru, karena perbaikan sistemik ditubuh DPR tentu saja tidak mudah. Semoga anggota DPR yang baru dapat melihat kekurangan-kekurangan tersebut dan tentu saja kita berharap mereka dapat memperbaikinya. Bukan membuatnya semakin parah. (ES/BS)

Dikutip dari : Erni Setyowati